Bagaimana Anda ingin dikenang oleh istri, anak, dan orang terdekat? Laki-laki yang mementingkan diri sendiri dan menuntut penghormatan mutlak atau ayah dan suami yang dihormati bukan karena memaksakan kehendak, tetapi justru karena memahami, menyayangi, dan bertanggung jawab?
Bayangkan anak lelaki dan perempuan yang berusia 3 atau 4 tahun. Mereka sama-sama memerlukan dukungan dan kasih sayang dari orang dewasa di sekitarnya. Namun, akibat citra "kuat" yang dilekatkan kepada laki-laki, banyak pria sedari kecil telah dididik untuk tidak mengakui rasa takut dan sedihnya.
Ingat lagu yang ditembangkan Iwan Fals bagi anak lelakinya, "Turunlah dari pangkuan ibumu, engkau lelaki, kelak sendiri". Menjadi laki-laki itu harus kuat dan hebat, yang lemah dan cengeng itu feminin, milik perempuan. Anak laki-laki terlalu cepat dipaksa mandiri, dikritik, dimarahi, dan direndahkan ketika menangis atau lari minta perlindungan ibunya.
Beberapa pria psikolog yang menggagas the new psychology of men mengatakan bahwa pada banyak laki-laki terjadi "trauma keterpisahan" pada masa dini. Anak lelaki sangat terguncang dan malu saat dipaksa harus tampil kuat, merasa terhina saat direndahkan karena dianggap cengeng (anak cowok cengeng banget, dasar anak mami, banci!).
Sedemikian menyakitkannya pengalaman ini, menyebabkan peristiwa tersebut dikubur dalam alam ketidaksadaran, tetapi terus membayangi jati dirinya hingga dewasa. Laki-laki merasa bingung, malu, dan benci jika tampak lemah atau dinilai lemah. Mereka tidak mengakui sisi-sisi "rentan" dari dirinya sendiri dan menilai kelemahan adalah milik perempuan.
Pada saat bersamaan, laki-laki juga memperoleh pengistimewaan. Mereka dibebaskan dari tugas-tugas rumah, dibolehkan bermain sebebas mungkin mengeksplorasi kekuatan tubuh dan keluasan dunia. Juga diutamakan karena dianggap akan jadi pemimpin dan kepala keluarga.
Trauma keterpisahan dan pengistimewaan laki-laki sekaligus menjadi cikal bakal perendahan terhadap perempuan dan sikap-sikap egosentris pada sebagian laki-laki. Merendahkan femininitas, menekankan kepatuhan, kewajiban, dan kesetiaan dari pasangan, tetapi tidak menerapkannya secara timbal balik sebagai kewajiban pula bagi diri sendiri.
Sisi gelap maskulinitas
Manusia, perempuan dan laki-laki, selain memiliki berbagai perasaan positif, sesungguhnya sama-sama memiliki perasaan takut, cemas, tertekan, atau sedih. Perasaan tersebut manusiawi dan perlu diakui untuk dapat dikelola dan diselesaikan dengan baik. Namun, bagi banyak pria, hal tersebut dianggap menunjukkan "kelemahan", tidak maskulin, dan memalukan. Citra laki-laki ideal adalah kuat, mandiri, mampu bersaing, menjadi pemimpin dan pemenang di lingkungannya.
Sesuai dengan citra maskulinitas yang berkonotasi agresif dan kuat pada banyak pria adalah emosi marah. Berbagai perasaan negatif lain tidak dikenal, terlalu memalukan dan mengancam jika harus diakui secara terbuka. Yang dikenal adalah emosi marah dan emosi lain juga dipindahkan menjadi emosi marah.
Misalnya, ketika istri bercakap dengan sahabat laki-lakinya, mungkin suami merasa "cemburu"; saat pacar melaju dengan kariernya, laki-laki mungkin merasa "tidak percaya diri"; dan saat istri berbeda pandangan mengenai suatu hal, suami mungkin merasa "sedih karena tidak dimengerti".
Akan tetapi, alih-alih mengomunikasikan perasaannya dengan jujur dan terbuka, yang dikenal dan ditampilkan adalah emosi marah. Kebiasaan diistimewakan memantapkan kebutuhan besar untuk dihormati dan diistimewakan. Karena itu, yang dipahami adalah bahwa pasangan tidak menghormati dan sebagian pria kemudian menampilkan kemarahan dan menuntut kepatuhan.
Citra laki-laki "baru"
Pada Rabu, 10 Maret 2010, lalu, dilaksanakan bincang-bincang mengenai "Gerakan Laki-laki Baru" di Kampus Ukrida, Jakarta. Menarik bahwa Mas Nur Iman Subono mengingatkan bahwa sosialisasi turun-temurun yang mengutamakan laki-laki memberikan power, privilege, dan permissiveness berlebihan kepada laki-laki. Ini bukan saja tidak adil bagi perempuan, tetapi dapat menyebabkan konflik dan perasaan tertekan pada laki-laki itu sendiri.
Ada ketegangan peran jender karena hal-hal yang normatif dan diidealkan selama ini (laki-laki harus jadi pemimpin dan lebih hebat) sesungguhnya berbeda dengan fakta konkret bahwa sebenarnya laki-laki tidak lebih pandai dan lebih mampu daripada perempuan. Banyak juga perempuan yang lebih pandai dan lebih punya kapasitas daripada laki-laki.
Mayong Suryo Laksono yang beristrikan figur publik mengatakan, "Saya dan istri saya adalah dua orang yang berbeda. Saya tidak mungkin mengubah dia sekehendak saya, seperti juga dia tidak dapat mengubah saya. Masing-masing kami memiliki minat, kebutuhan, karier kami sendiri. Menurut saya, memaksa orang untuk berubah demi kita itu jahat banget."
Para pria pembicara sepakat bahwa laki-laki yang penuh tuntutan, ingin mengendalikan dan mendominasi, apalagi melakukan kekerasan terhadap pasangan, sebenarnya adalah laki-laki yang tidak percaya diri. Terus-menerus dalam ketegangan dan keraguan, dan kemudian memaksa pihak lain untuk tunduk demi menenangkan diri sendiri.
Pesan baru yang ingin disampaikan: karena tidak ada yang lebih tinggi dan lebih hebat daripada yang lainnya, mengapa laki-laki dan perempuan tidak bekerja sama saling memahami dan menghormati?
Sudah saatnya pria tidak lagi bangga, tetapi justru merasa malu jika dikenal sebagai laki-laki yang mementingkan diri sendiri dan bertindak sewenang-wenang. Kerja rumah tangga dan mencari nafkah sama penting dan nilainya serta tidak eksklusif menjadi milik salah satu jenis kelamin.
Gambar yang lebih indah adalah gambar ayah yang menggendong anak, suami-istri yang bahagia berbagi tugas, generasi muda perempuan dan lelaki yang dapat meraih cita-cita setinggi mungkin. Pria yang penyayang, mengerti, dan bersedia bekerja sama malahan akan dengan sendirinya memperoleh penghormatan dari istri, anak, dan masyarakat.
Sumber :KRISTI POERWANDARI, PSIKOLOG
(Kompas)
Bayangkan anak lelaki dan perempuan yang berusia 3 atau 4 tahun. Mereka sama-sama memerlukan dukungan dan kasih sayang dari orang dewasa di sekitarnya. Namun, akibat citra "kuat" yang dilekatkan kepada laki-laki, banyak pria sedari kecil telah dididik untuk tidak mengakui rasa takut dan sedihnya.
Ingat lagu yang ditembangkan Iwan Fals bagi anak lelakinya, "Turunlah dari pangkuan ibumu, engkau lelaki, kelak sendiri". Menjadi laki-laki itu harus kuat dan hebat, yang lemah dan cengeng itu feminin, milik perempuan. Anak laki-laki terlalu cepat dipaksa mandiri, dikritik, dimarahi, dan direndahkan ketika menangis atau lari minta perlindungan ibunya.
Beberapa pria psikolog yang menggagas the new psychology of men mengatakan bahwa pada banyak laki-laki terjadi "trauma keterpisahan" pada masa dini. Anak lelaki sangat terguncang dan malu saat dipaksa harus tampil kuat, merasa terhina saat direndahkan karena dianggap cengeng (anak cowok cengeng banget, dasar anak mami, banci!).
Sedemikian menyakitkannya pengalaman ini, menyebabkan peristiwa tersebut dikubur dalam alam ketidaksadaran, tetapi terus membayangi jati dirinya hingga dewasa. Laki-laki merasa bingung, malu, dan benci jika tampak lemah atau dinilai lemah. Mereka tidak mengakui sisi-sisi "rentan" dari dirinya sendiri dan menilai kelemahan adalah milik perempuan.
Pada saat bersamaan, laki-laki juga memperoleh pengistimewaan. Mereka dibebaskan dari tugas-tugas rumah, dibolehkan bermain sebebas mungkin mengeksplorasi kekuatan tubuh dan keluasan dunia. Juga diutamakan karena dianggap akan jadi pemimpin dan kepala keluarga.
Trauma keterpisahan dan pengistimewaan laki-laki sekaligus menjadi cikal bakal perendahan terhadap perempuan dan sikap-sikap egosentris pada sebagian laki-laki. Merendahkan femininitas, menekankan kepatuhan, kewajiban, dan kesetiaan dari pasangan, tetapi tidak menerapkannya secara timbal balik sebagai kewajiban pula bagi diri sendiri.
Sisi gelap maskulinitas
Manusia, perempuan dan laki-laki, selain memiliki berbagai perasaan positif, sesungguhnya sama-sama memiliki perasaan takut, cemas, tertekan, atau sedih. Perasaan tersebut manusiawi dan perlu diakui untuk dapat dikelola dan diselesaikan dengan baik. Namun, bagi banyak pria, hal tersebut dianggap menunjukkan "kelemahan", tidak maskulin, dan memalukan. Citra laki-laki ideal adalah kuat, mandiri, mampu bersaing, menjadi pemimpin dan pemenang di lingkungannya.
Sesuai dengan citra maskulinitas yang berkonotasi agresif dan kuat pada banyak pria adalah emosi marah. Berbagai perasaan negatif lain tidak dikenal, terlalu memalukan dan mengancam jika harus diakui secara terbuka. Yang dikenal adalah emosi marah dan emosi lain juga dipindahkan menjadi emosi marah.
Misalnya, ketika istri bercakap dengan sahabat laki-lakinya, mungkin suami merasa "cemburu"; saat pacar melaju dengan kariernya, laki-laki mungkin merasa "tidak percaya diri"; dan saat istri berbeda pandangan mengenai suatu hal, suami mungkin merasa "sedih karena tidak dimengerti".
Akan tetapi, alih-alih mengomunikasikan perasaannya dengan jujur dan terbuka, yang dikenal dan ditampilkan adalah emosi marah. Kebiasaan diistimewakan memantapkan kebutuhan besar untuk dihormati dan diistimewakan. Karena itu, yang dipahami adalah bahwa pasangan tidak menghormati dan sebagian pria kemudian menampilkan kemarahan dan menuntut kepatuhan.
Citra laki-laki "baru"
Pada Rabu, 10 Maret 2010, lalu, dilaksanakan bincang-bincang mengenai "Gerakan Laki-laki Baru" di Kampus Ukrida, Jakarta. Menarik bahwa Mas Nur Iman Subono mengingatkan bahwa sosialisasi turun-temurun yang mengutamakan laki-laki memberikan power, privilege, dan permissiveness berlebihan kepada laki-laki. Ini bukan saja tidak adil bagi perempuan, tetapi dapat menyebabkan konflik dan perasaan tertekan pada laki-laki itu sendiri.
Ada ketegangan peran jender karena hal-hal yang normatif dan diidealkan selama ini (laki-laki harus jadi pemimpin dan lebih hebat) sesungguhnya berbeda dengan fakta konkret bahwa sebenarnya laki-laki tidak lebih pandai dan lebih mampu daripada perempuan. Banyak juga perempuan yang lebih pandai dan lebih punya kapasitas daripada laki-laki.
Mayong Suryo Laksono yang beristrikan figur publik mengatakan, "Saya dan istri saya adalah dua orang yang berbeda. Saya tidak mungkin mengubah dia sekehendak saya, seperti juga dia tidak dapat mengubah saya. Masing-masing kami memiliki minat, kebutuhan, karier kami sendiri. Menurut saya, memaksa orang untuk berubah demi kita itu jahat banget."
Para pria pembicara sepakat bahwa laki-laki yang penuh tuntutan, ingin mengendalikan dan mendominasi, apalagi melakukan kekerasan terhadap pasangan, sebenarnya adalah laki-laki yang tidak percaya diri. Terus-menerus dalam ketegangan dan keraguan, dan kemudian memaksa pihak lain untuk tunduk demi menenangkan diri sendiri.
Pesan baru yang ingin disampaikan: karena tidak ada yang lebih tinggi dan lebih hebat daripada yang lainnya, mengapa laki-laki dan perempuan tidak bekerja sama saling memahami dan menghormati?
Sudah saatnya pria tidak lagi bangga, tetapi justru merasa malu jika dikenal sebagai laki-laki yang mementingkan diri sendiri dan bertindak sewenang-wenang. Kerja rumah tangga dan mencari nafkah sama penting dan nilainya serta tidak eksklusif menjadi milik salah satu jenis kelamin.
Gambar yang lebih indah adalah gambar ayah yang menggendong anak, suami-istri yang bahagia berbagi tugas, generasi muda perempuan dan lelaki yang dapat meraih cita-cita setinggi mungkin. Pria yang penyayang, mengerti, dan bersedia bekerja sama malahan akan dengan sendirinya memperoleh penghormatan dari istri, anak, dan masyarakat.
Sumber :KRISTI POERWANDARI, PSIKOLOG
(Kompas)
0 komentar:
Post a Comment