Anak pandai bicara? Pasti menyenangkan sekaligus membanggakan. Kadang malah membuat kita tertawa karena dia sudah mulai berkata-kata sambil diselipi rayuan! Misalnya dengan cara memuji-muji kita lebih dulu tapi sebetulnya ada maunya. "Wow, kuenya kayaknya enak, deh. Bunda memang jago masak. Boleh, enggak, aku ngicipin? Dikit....aja."
Selain tertawa, reaksi lain yang bisa muncul adalah pertanyaan, darimana dia belajar merayu? Bahaya atau tidak perilakunya itu? Yang jelas, seperti dituturkan psikolog Rahmitha P. Soendjojo, anak bisa berbuat seperti itu semata karena meniru lingkungan. Entah melihat contoh dari orang tuanya, teman, tetangga, lihat di teve, dan lainnya. "Bisa juga karena kita yang mengkondisikan anak," kata Mitha.
Ia lalu memberi contoh bagaimana anak "disuruh" orang tua untuk bermani-manis sebelum minta sesuatu. "Kalau mau kue enak, nanti di rumah Tante kamu bilang, 'Tante cantik, deh.' Nah, pasti kamu dikasih kue." Jadi, kata Mitha, "Enggak perlu bingung dan bertanya-tanya darimana anak belajar memuji atau merayu sebelum menyampaikan keinginannnya. Jelas-jelas, orang tua sendiri yang mengajarkan." Belum lagi kalau si anak pandai berakting atau menggunakan bahasa tubuhnya. Nah, makin hebat saja rayuannya.
MEMUJI DENGAN PAMRIH
Meski perilaku tersebut wajar, jelas Mitha, sebetulnya gaya merayu seperti itu kurang baik bagi anak. Selain tak bermanfaat, anak akan terbiasa mengeluarkan jurus rayuan gombal. "Padahal, di masa emas ini, anak harus selalu mendapat hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi pertumbuhan serta perkembangannya. Itu penting bagi masa depan si anak sendiri"
Dampak buruk lainnya, anak seperti diajarkan untuk tidak berusaha jika ingin memperoleh sesuatu. "Maksudnya, dia jadi tak berusaha keras." Anak akan berpikir, "Ah, gampang, rayu aja nanti juga diberi."
Memang, lanjut Mitha, memuji pada dasarnya tindakan terpuji. Tapi kalau dilakukan tidak tulus karena ada embel-embel di belakangnya, jadi tak baik. "Harusnya, pujian yang kita berikan pada seseorang dilandasi ketulusan hati, tanpa mengharap pamrih."
Dengan kata lain, kalau memang mau mengajar anak memuji, ajari ia memuji dengan tulus. "Asal kita menanamkannya dengan jelas, sederhana, dan konkret, anak akan mengerti, kok." Apalagi jika contoh yang kita berikan sudah menjadi gaya hidup kita, "Pasti akan lebih mengena dan akan ditiru anak. Apa pun juga, kita adalah tokoh sentral anak."
Akan lebih baik lagi jika kita mengajarkannya untuk langsung ke tujuan jika menghendaki sesuatu, tanpa harus disertai rayuan atau pujian kosong. "Dengan begitu, kita sekaligus mendidik anak berkomunikasi dengan efektif."
Caranya? Tak lain dengan memberi contoh yang baik, mengingatkan anak, menjelaskan padanya bagaimana cara berkomunikasi yang efektif. Jika ia ingin sesuatu, ajarkan ia berkata, "Bunda aku mau mainan ini. Boleh, tidak?'"
ANTARA REWARD DAN JADI ALAT
Lain halnya jika cara merayunya dalam bentuk perbuatan nyata. Semisal membantu membereskan tempat tidur, membawa baju kotor ke keranjang cucian, membantu menata meja makan, dan sebagainya. "Nah, rayuan seperti ini adalah rayuan yang bagus sekali." Sebab, selain berguna bagi dirinya, juga baik untuk lingkungan. "Yang seperti ini harus diberi reward. "
Yang pasti, kata Mitha lebih lanjut, rayuan macam ini juga harus tetap diwaspadai. Soalnya, bisa saja dilakukan anak demi mencapai tujuan tertentu. "Aku mau bawa minuman Ayah, ah, biar nanti dibeliin boneka Barbie."
Nah, untuk menghindari hal tersebut, mudah, kok. Yang diperlukan hanya kejelian orang tua. Misalnya, bila anak biasanya susah dimintai bantuan lalu tiba-tiba tanpa diminta menawarkan diri mengerjakan sesuatu, "Kita boleh curiga, ada apa, nih, dengan si kecil. Komunikasikan dengan anak." Misalnya, "Wah, hebat, lo, anak Papa membawakan minuman. Sekarang papa mau tanya, ada apa, sih?" Dari situ akan terlihat, apa sebetulnya maksud dan tujuan anak. Setelah itu, boleh saja kita membuat perjanjian dengan anak, "OK, Papa akan belikan boneka tapi janji, kamu harus seperti ini setiap hari. Menjadi anak baik yang selalu membantu orang tua."
TAK PERLU DIUNGKIT
Bisa juga hal tersebut kita jadikan sebagai aturan karena sebetulnya anak prasekolah sudah mampu melakukan hal-hal terpuji setiap harinya, hanya saja dia malas. "OK, sekarang kalau kamu bisa bangun pagi langsung beres-beres tempat tidur, sepulang sekolah langsung memasukkan pakaian ke keranjang cucian, dan membantu Mama, akan beri hadiah."
Jika aturan ini berhasil, selanjutnya kita perpanjang pemberian reward. Misalnya, setelah bisa melakukan aktivitas harian selama 2 minggu dengan baik, baru kita kasih reward. Begitu seterusnya. "Lama-lama hal tersebut akan menjadi kebiasaan anak. Kita pun secara otomatis sudah bisa mencabut pemberian reward," jelas Mitha. Memang mungkin ada saat-saat di mana anak "lupa" mengerjakan tugas rutinnya. Nah, tugas orang tua mengingatkan hal itu. Yang juga harus diingat,orang tua tak perlu mengungkit-ungkit lagi reward yang telah diterima anak. "Supaya anak mengerti, perbuatan seperti itulah yang membuat kita perhatian dan sayang padanya."
Soalnya, jika kita mengungkit reward yang dia terima, "Bisa dimanfaatkan anak untuk memenuhi keinginannya. Anak tidak belajar mengolah perbuatan yang dilakukan. Yang dia pikirkan adalah tujuan akhirnya." Seharusnya, kan, anak bisa merasakan, "Ternyata aku mampu, kok, membereskan tempat tidur sendiri," misalnya, atau "Aku ternyata pintar juga menyemir sepatu Bunda dan Ayah," misalnya. Mudah, kan?
Wednesday, 3 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment