Pages

Sunday, 4 April 2010

Ratih Soe: Last Tango in Kebaya


"Nanti saya perlihatkan bagaimana berdansa tango dengan kebaya,” kata Ratih Soe (47), model senior yang populer pada era 1980-an itu berjanji. Dan suatu sore ia bertango dengan penuh gairah.

Suatu sore pula menjelang akhir Maret lalu saya datang ke rumah Ratih di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, yang lapang dan penuh dengan barang antik.

Ia tampak cerah dengan baju dan celana lebar terusan warna merah. Celana itu menggunakan belahan nyaris sampai pangkal paha.

Ia menari tango dengan gerakan-gerakan indah yang memperlihatkan kelenturan tubuhnya yang sensual.

Namun, sebenarnya Ratih merasa lebih seksi bila bertango dengan kebaya. ”Saya memang sedang gencar memperkenalkan kain kebaya untuk bertango,” kata Ratih, perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, 1963, itu.

Tango, katanya, mencerminkan keindahan budaya Amerika Latin. Kain kebaya, bagi Ratih, merupakan identitas budaya Jawa. Maka, Ratih bertango dengan rasa kebaya.

”Saya ingin mencampurkan dua budaya yang indah,” kata Ratih.

Sore itu ia bersiap tampil di sebuah hotel berbintang berpasangan dengan Leonardo, pelatihnya yang berasal dari Argentina. Ratih akan bertango dengan kain kebaya diiringi lagu Sepasang Mata Bola.

Dua tahun menekuni tango, Ratih menemukan makna lain dari tarian itu. Bukan sekadar sebagai gaya hidup, tetapi sampai ke filosofi di balik gerak tango. Ia percaya, tango tidak hanya menyehatkan badan, tetapi juga menguatkan pikiran positif.

”Saya lebih bisa mengendalikan diri, sabar, dan peka terhadap keadaan sekitar. Bagi saya tango bukan sekadar gaya hidup, tetapi cara hidup.”

Dengan tango, Ratih merasa bisa mengendalikan ego dan menciptakan harmoni dengan pasangan. Dalam tango, laki-laki memimpin gerakan, sementara perempuan mengikutinya. ”Meskipun kita sudah mahir, perempuan tidak boleh mendahului gerakan laki-laki. Sementara laki-laki harus bisa mengarahkan gerakan pasangannya sehingga penari menjadi kompak.”

Filosofi tango diterjemahkan Ratih dalam kehidupan rumah tangganya bersama Dr Alexander Kecil Kosasie (55) atau Kecil yang juga mahir bertango. Ego manusia, kata Ratih, menuntut pemenuhan yang tidak akan pernah selesai. Bila manusia mampu mengendalikan ego, ia akan tahu kapan harus berhenti dan kapan harus berjalan terus. Ratih sering bertango dengan suaminya. ”Dengan tango, kami memelihara keterhubungan kami,” tutur Ratih.

Demi tango, Ratih menyulap salah satu ruangan di rumahnya untuk studio tango. Ia juga rajin berguru tango pada maestro tango yang datang ke Indonesia atau ke beberapa negara di Asia. Ia juga banyak membaca buku-buku tentang tango.

Selain tampil di Jakarta, Ratih sering diundang bertango di Surabaya, Denpasar, sampai Kuala Lumpur. Namun, Ratih tidak punya keinginan untuk menjadi penari tango profesional.

Wis tuwek. Wis gak kuat tenagane (Sudah tua, sudah tidak kuat tenaganya).”

Mandi di Pulogadung
Tango, katanya, tarian kehidupan. Dan dengarlah Ratih bercerita tentang ”tarian” kehidupannya menuju gemerlap dunia model di Jakarta.

Ia pertama kali ikut peragaan busana ketika kakaknya menyelenggarakan acara peragaan busana di Surabaya. Waktu itu Ratih masih kelas III SMA. Rupanya, keluwesan dan kecantikan Ratih dilirik banyak orang. Ia pun diajak bergabung dengan agen model di Surabaya milik Lisa Gunawan.

Sejak itu, ia mendapat banyak tawaran tampil sebagai peragawati sekaligus menjadi model pemotretan di Jakarta. Ketika itu Ratih sedang mengenyam pendidikan Administrasi Niaga di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur,
tahun 1981. Suatu kali ia ke Jakarta naik bus malam dan turun di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur.

”Saya mandi di kamar mandi umum di Terminal Pulogadung. Lantainya brongkal-brongkal (rusak, pecah-pecah), bak mandinya lumutan, tetapi airnya sueger, mak nyesss,” kata Ratih mengenang masa tiga dekade silam.

Sejak itu, bila datang ke Jakarta dengan bus malam, Ratih selalu mandi di kamar mandi umum tanpa atap di Terminal Pulogadung. ”Kamar mandinya ada di bawah pohon. Waktu mandi kadang-kadang ada daun yang berjatuhan ke badan. Wis pokoke gak bakalan lali, tidak akan terlupakan.”

Ratih sepuluh tahun malang melintang di dunia mode. Pada masa produktif, ia memutuskan berhenti karena ingin kuliah lagi di jurusan interior desain. Dengan uang yang dikumpulkan dari dunia mode, Ratih pergi ke London dan belajar interior desain di American College in London.

Di kota itulah Ratih bertemu dengan dua hal paling penting dalam hidupnya, yaitu Alexander Kecil Kosasie, yang kemudian menjadi suaminya, dan tango.

Dari perkawinan itu, Ratih dan Kecil dikaruniai dua putri, Alexandra (12) dan Victoria (10).

”Tadinya saya berpikir tango adalah tarian terakhir yang akan saya pelajari,” katanya.

Dan ternyata tango belum berakhir bagi Ratih.

Sumber : Kompas
Share/Save/Bookmark

0 komentar: