Bentuk tubuh ideal, kekuatan fisik, macho, dan adu fisik, menjadi citra kelelakian yang dilekatkan dan dikonstruksikan secara sosial budaya kepada kaum adam.
Akhirnya, baik lelaki maupun perempuan menerima dan meyakini kriteria ideal ini untuk membangun relasinya. Pada kenyataannya, citra ini tak lantas membangun relasi hubungan yang sehat.
Dari pandangan psikologi, Kristi Poerwandari -pendiri Yayasan Pulih, lembaga nirlaba psikolog profesional- mengatakan pria menjadi frustrasi atas citra yang dikonstruksi secara sosial kepadanya.
"Pria frustrasi karena merasa kebingungan tidak bisa dan tidak terbiasa berbicara, ngobrol tentang berbagai persoalannya. Hal ini merupakan bentukan konstruksi sosial atas relasi pria dan wanita, atau relasi sesama pria dan sesama wanita," jelas Kristi.
Relasi sesama pria lebih kepada fisik, sedangkan relasi sesama wanita cenderung psikis seperti keterbukaan, saling berbagi, tukar pikiran dan lainnya, demikian menurut Kristi.
Pria tidak memiliki relasi psikis dengan sesamanya, dan merasa akan lebih kuat dengan menonjolkan kekuatan fisik. Akhirnya, pria cenderung menutup dirinya dari afeksi dan kedekatan emosional, yang kesannya lebih menunjukkan sisi feminitas.
Situasi ini menjadi masalah ketika kaum adam, dalam realitasnya dihadapkan pada berbagai kondisi. Dalam relasi personal dengan perempuan, pria menjadi terbebani karena harus menunjukkan kekuatan diri dan tidak boleh menunjukkan emosi yang dianggap sebagai kelemahan. Dalam kondisi lebih luasnya, pria merasa tak menjadi lelaki ketika postur tubuhnya (fisik) tidak memenuhi kriteria ideal dan menjadi tak percaya diri karenanya. Lebih kompleks lagi, ketika pria harus memenuhi nilai sebagai orang nomor satu, pencari nafkah dan kondisinya pria tak bekerja. Realitas yang terjadi pria kemudian menggunakan kekuatan kelelakiannya, dan menjadi pelaku KDRT.
Sumber : Kompas
Sunday, 4 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment